Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara
doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam
mengenai status Al-Qur’an apakah itu makhluk atau bukan, kemudian debat
antara sifat-sifat Allah, antara ulama Salafiyyun dengan golongan
Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman Khulafa’ur Rasyidin, yakni mulai sejak terjadinya perang shiffin yang melibatkan khalifah Ali bin Abi Thalib ra dengan Mu’awiyah. Bersama kekalahan khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui arbitrase (tahkim) oleh kubu Mu’awiyah, umat Islam semakin terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan kelompok Mu’awiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada golongan Murji’ah dan Qodariyah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (Af’al Al-ibad min Al-ibad) berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu ada sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu sa’id Hasan ibn Hasan Yasar Al Bashri (21-110 H/639-78 M) atau lebih dikenal dengan Imam Hasan Al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersfat kultural (tsaqofiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antar berbagai fraksi politik (firqoh) yang berkembang pada saat itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sikap keberagaman dan pemikiran yang sejuk dan moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagaman tersebut mereka tidak mudah mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik kala itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama setelah beliau, iantaranya Imam Abu Hanifah Al Nu’man (150 H), Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Syafi’i (204 H), ibn Kullab (204 H), Ahmad ibn Hanbal (241 H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (34 H) dan Abu Mansur Al Maturidi (333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti, benih-benih faham Aswaja sudah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Aswaja bukanlah sebuah mazhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan, inilah makna Aswaja sebagai Manhajul Fikr.
Sebagai Manhajul Fikr, Aswaja berpegang pada prinsip-prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (netral), Ta’adul (seimbang) dan Tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal disamping memperhatikan nash. Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak berarti mendukung pemerintahan yang sudah keluar dari jalur.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Realitas masyarakat Indonesia yang prulal dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama dipandang bukan semata-mata wujud realitas sosiologis, namun jga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman Khulafa’ur Rasyidin, yakni mulai sejak terjadinya perang shiffin yang melibatkan khalifah Ali bin Abi Thalib ra dengan Mu’awiyah. Bersama kekalahan khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui arbitrase (tahkim) oleh kubu Mu’awiyah, umat Islam semakin terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan kelompok Mu’awiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada golongan Murji’ah dan Qodariyah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (Af’al Al-ibad min Al-ibad) berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu ada sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu sa’id Hasan ibn Hasan Yasar Al Bashri (21-110 H/639-78 M) atau lebih dikenal dengan Imam Hasan Al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersfat kultural (tsaqofiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antar berbagai fraksi politik (firqoh) yang berkembang pada saat itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sikap keberagaman dan pemikiran yang sejuk dan moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagaman tersebut mereka tidak mudah mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik kala itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama setelah beliau, iantaranya Imam Abu Hanifah Al Nu’man (150 H), Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Syafi’i (204 H), ibn Kullab (204 H), Ahmad ibn Hanbal (241 H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (34 H) dan Abu Mansur Al Maturidi (333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti, benih-benih faham Aswaja sudah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Aswaja bukanlah sebuah mazhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan, inilah makna Aswaja sebagai Manhajul Fikr.
Sebagai Manhajul Fikr, Aswaja berpegang pada prinsip-prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (netral), Ta’adul (seimbang) dan Tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal disamping memperhatikan nash. Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak berarti mendukung pemerintahan yang sudah keluar dari jalur.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Realitas masyarakat Indonesia yang prulal dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama dipandang bukan semata-mata wujud realitas sosiologis, namun jga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.