“ini tentang kematian, tak selamanya raga ini
kekal di dunia. Mungkin setelah kutuliskan kalimat inipun aku bisa saja
menyusulmu kembali ke pangkuan-Nya. Tak ada yang tahu..karena itu hanya
rahasia-nya, ya, rahasia Dia semata”
Malam yang terasa amat panjang, ketika kuputuskan memejamkan mataku
akibat pening dikepala yang tak kunjung hilang. Kulihat jam di ponsel
menunjukkan pukul 20.00 WIB. Tak biasanya, benar-benar tak biasanya aku tidur
seawal itu. Tapi pening ini yang memaksaku untuk memejamkan mata, berharap esok
pagi dia hilang dari kepalaku. Malam itu aku benar-benar tak bisa tidur pulas,
suara kecilpun bisa membuatku terjaga dari tidurku yang bisa dikatakan tidak
berkualitas baik. Tapi aku masih mencoba memejamkan mata, mencoba dan mencoba.
Akhirnya aku pun tertidur dan tak ingat
lagi jam berapa ketika itu, ketika jiwaku telah terbang ke alam bawah sadar
bernama mimpi.
Mimpi itu membawaku kembali ke masa 6 tahun lalu, ketika aku pertama kali
menginjakkan kaki di bumi yang baru, jauh dan amat jauh dari kedua orang tuaku.
Ya disana, disebuah pesantren yang terletak jauh di timur pusat kota, rumah
baruku, dimana aku bertemu dan berkenalan dengan banyak orang baru disana.
Dimana aku menemukan sebuah kata, kata yang mungkin beberapa bulan sebelumnya aku
bahkan tak tahu artinya, kata itu adalah “sahabat”.
-oo-
Mereka adalah irul, lutfi, dhifa, achmad dan rizka. Kami hanyalah seorang
bocah yang baru lulus SD. Entah kenapa kami bisa bertemu disini. Karena kemauan
sendiri atau memang paksaan dari orang. Dan mungkin aku diantara keduanya.
Mungkin dari kami ber-6, achmad lah yang
daerah asalnya paling jauh, ujung barat pulau jawa. Mungkin kami dekat
karena kami dari asrama yang sama, yah tentunya irul dan achmad di asrama
putra, sedangkan aku, luthfi, dhifa dan riska di asrama putri. Letak asrama
kami memang tak berjauhan. Hanya dipisahkan oleh rumah Kyai. Oleh karenanya
kami sering pulang sekolah bersama walaupun terkadang kami juga kena marah
ketika kami jalan bersama. Santri putra dan santri putri nggak boleh jalan barengan. Katanya. Toh kami yang emang masih
bocah ya mana bisa dilarang. Tetep kami pulang sekolah bersama. Ketawa-ketiwi
sepanjang jalan. Tak peduli kami memenuhi jalan pematang sawah, tak peduli
terkadang sepatu kami basah berlumpur, karena keisengan kecil si irul menginjak
kubangan lumpur, sebal kadang harus mencuci baju dan sepatu padahal esok hari
masih digunakan sekolah. Tapi toh kita tetap ketawa-ketiwi.
-oo-
Ah…hpku bergetar lagi. Kini sms dari seorang teman SMA. Ah
tengah malam gini. Mimpiku buyar, padahal aku masih ingin bernostalgia dengan
sahabat kecilku, padahal aku masih ingin
melihat wajah mereka. Oh, aku
masih merasakan pening dikepala. Semakin penat kurasa. Aku melanjutkan kembali
tidurku, berharap ku masih bisa bertemu mereka, meskipun hanya dalam mimpi. Ku tertidur lagi, dan sepertinya Dia
memang ingin mengatakan kepadaku sesuatu lewat mimpiku bertemu kembali dengan
mereka. Tapi aku tak ingat lagi apa yang kumimpikan. Aku hanya melihat wajah ke
enam temanku. Setelah itu gelap,
berputar-putar, aku hanya melihat benang-benang kusut didalam mimpiku. Mungkin itu adalah efek sakit kepala
dan demamku. Ah sudahlah, yang penting aku sudah bertemu mereka, meskipun hanya
dalam mimpi.
-oo-
Keesokan harinya, kubuka pintu
belakang rumahku yang langsung manyajikan pemandangan yang hijau, sawah ladang,
dan pohon-pohon besar, tak kalah pula panorama indah gunung merapi serta sinar
mentari hangat menyapa. Masih terdengar
suara katak bernyanyian, daun pohon basah sisa hujan semalam. Ah…aku jadi teringat tentang mimpi semalam.
Seolah ada suatu pesan yang ingin Dia sampaikan melalui mimpi tersebut.
Tertanggal 29 Maret 2013. Sepertinya
aku mengingat suatu kejadian penting dalam hidupku. Kehidupan persahabatanku.
Sejak aku melanjutkan studiku di sebuah sekolah di serpong, aku tak pernah lagi
bertemu mereka, tak pernah mendapatkan kabar dari mereka, atau mungkin memang
aku yang susah dicari, ponsel tak ada, dan
hanya bisa keluar asrama 2 minggu sekali. Pernah ku menanggap mereka
berubah. Tapi kemudian aku menyadari, kami bukan lah lagi seorang bocah yang
kerjaannya cuman ketawa-ketiwi, main lumpur di sawah. Dan mungkin semuanya
sudah berubah. Hanya butuh beberapa bulan untuk berubah. Tak perlu waktu lama,
karena memang sudah kodrat manusia menjadi dewasa.
Bukan, bukan tentang kedewasaan itu.
tapi tentang seorang sahabat yang pergi. Seorang sahabat yang dulu sering
membuat ulah kecil yang kadang membuat kami sebal. Menginjak kubangan lumpur
yang membuat seragam dan sepatu kami basar berlumpur. Tapi kami mempermasalahkan
keisengan itu. yang penting bagi kami adalah ketawa-ketiwi. Kini dia tlah pergi
tanpa kabar, tanpa permisi tanpa ada seorang pun yang memberitahuku tentang
kepergiannya. Mungkin tak ada yang salah karena memang aku yang tak bisa dihubungi. Aku seorang anak
asrama tanpa askes komunikasi. Dia pergi 2 bulan setelah teman seangkatanku
juga pergi. Tanpa kabar tanpa permisi
dia pergi. Mungkin itulah wujud kasih sayang-Nya, tak membiarkannya terus dalam
sakit hati yang telah dideritanya sejak lama. Selamat jalan kawan, smoga kau
tenang, smoga kita bertemu kembali.
#teruntuk
sahabatku yang kini tlah jauh disana