“Hai biru, apa kabarmu disana? Masihkah
kau mengingatku? Seorang teman kecilmu yang dulu sangat pemalu. Hai biru, apa
kau tau kini aku telah berubah. Aku bukanlah aku yang kau kenal dulu. Tapi apa
gunanya aku bercerita kepadamu? Toh kau disana juga tak pernah bercerita
kepadaku, bahkan hanya sedikit meluangkan waktumu memberiku kabar. Sudahlah biru,
aku tau kau sedang berjuang disana. Mungkin juga kau tak sempat membaca pesan
apa kabar dariku. Atau mungkin juga kau lupa membalasnya karena kesibukanmu. Biru,
aku disini akan selalu mendoakanmu. Tak salah kan aku mendoakan teman kecilku? Semoga
kau sukses disana dengan hidup barumu”
Ku tutup buku biruku. Tempat dimana aku berbagi cerita dengan si biru,
meskipun ku tau dia tak akan pernah membaca coretan-coretan itu. Bergegas ku
menuju kasur, berharap esok si biru akan membalas pesanku. Meskipun kutahu itu
hanyalah harapan semu.
-oo-
Hari ini mungkin seperti
hari-hari sebelumnya, aktifitas pagi yang kulakukan sebelum berangkat kuliah. Oh
iya, aku bukan anak SMA lagi. Aku kini adalah seorang mahasiswa. Ya, mahasiswa
di salah satu perguruan tinggi negeri. Berarti sudah setahun lalu kutanggalkan
seragam putih abu-abuku. Masa dimana semua berjalan begitu indah tanpa banyak
beban dan hantaman pergaulan yang se ekstrim duniaku sekarang. Ah..masa itu. Sungguh
jika aku dapat memutar waktu, aku lebih memilih kembali ke duniaku yang dulu.
Di kampus ini, aku
memiliki seorang teman yang bisa kubilang dia adalah sahabat terbaikku. Vega. Entah
kenapa kami berdua seperti sudah
ditakdirkan untuk bertemu disini. Di lingkungan baru yang semuanya serba tak
pernah kukenal sebelumnya. Tapi dia berbeda, dia seperti teman masa kecilku lainya.
Sejalan sepikiran. Dan dia juga yang selalu mengingatkanku kepada teman-teman
masa kecilku yang gila, rusuh dan tak pernah menganggap suatu beban sebagai
suatu yang memberatkan. Dia yang selalu menguatkan dan dia juga yang selalu
membantuku bangkit ketika ku terjatuh. Dan dia juga orang yang selalu dengan
sabar mendengarkan ceritaku tentang si biru. Yah meskipun mungkin dia bosan
dengan cerita cerita itu, cerita yang bahkan aku sendiri hanya
menggantungkannya di angan.
Malam ini ku tulis lagi
surat kecil untuk si biru. Sudah setahun, dan sudah ratusan lembar kertas
tergoreskan tinta. Dan buku ini hampir penuh dengan cerita untuk si biru. Meski
ku tahu, dia tak akan pernah membacanya. Mungkin orang lain bilang ini hanya sia-sia.
Tapi dengan menuliskan semuanya, aku bisa merasakan bahwa aku benar-benar
bercerita kepada si biru. Ah biru, andai kau benar-benar ada disini.
-oo-
Setahun sudah sejak hari
pelepasan itu, aku tak pernah sekalipun mendengar kabar dari si biru. Tak ada
satupun temanku yang tahu dimana dia berada sekarang. Aku hanya tahu, dia kini
menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di ibukota. Itupun aku
tahu dari akun facebooknya. Nah dari situ juga aku bisa tahu apa yang sedang
dia kerjakan, dari postingan dia. Seakan postingan itu mengabarkan kepadaku bahwa
dia sekarang baik-baik saja, bahkan bisa dibilang menjadi aktivis di kampusnya.
Aku sering melihat chat
facebooknya online. Pernah juga aku menyapanya lewat chat. Tapi tetap sama, tak
ada balasan. Aku hanya berpositive thinking, mungkin dia sedang sibuk
mengerjakan tugas. Semenjak itu aku tak pernah lagi menyapanya, mungkin ada
sedikit rasa kecewa dan aku takut kekecewaan itu kembali datang. Aku hanya bisa
menyaksikannya, lewat apa-apa yang dia katakana di media sosial itu. Semua yang
dia tulis, menggambarkan bahwa dia bahagia disana. Ya, bahagia dengan dunia
barunya. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati, melihat dia bahagia. Meskipun dia
tak pernah lagi berbagi kebahagiaan itu denganku, tak seperti dulu.
Kubuka kembali notebook
kecilku. Tua dan usang. Kuingat betul itu adalah buku pertamaku menuliskan apa
yang terjadi dalam hidupku. Ada juga beberapa tulisan sahabat kecilku disana. Kata
kata ini yang memberiku kekuatan untuk terus menulis.
“ You don’t need to pretend, all
feelings inside. You don’t have to conceal, just tell what you feel (25
februari)”
Benar, mungkin aku tak harus menjadi seorang sastrawan untuk bercerita. Aku
hanya butuh kertas dan pena. Aku hanya butuh menjadi diriku sendiri. Tak harus
menyembunyikan semuanya. Karena masih
banyak tempat berbagi, yah walaupun hanya kepada sebuah buku.
Sore ini, hujan turun
lagi. Udara dinginpun tak malu menyapa. Sendiri. Iya sendiri diantara ribuan
bahkan miliaran butir air yang turun kebumi. Kubuka catatan lamaku. Membawaku kembali
menyelami memori hidup empat tahun lalu.
-oo-
Aku hanya seorang gadis desa. Umurku baru 15 tahun ketika
paman dan bibiku membawaku ke ibukota. Bukan apa apa. Beliau hanya kasihan
melihat keluargaku yang bukan orang berada harus membesarkan lima orang anak
yang semuanya butuh makan dan tentunya pendidikan. Sebagai seorang anak sulung,
aku berkeinginan keras membantu ayahku menghidupi adik adikku. Oleh karena itu,
setelah aku lulus SMP, aku menerima tawaran pamanku untuk tinggal bersama dia
di ibukota. Pikirku, mungkin disana aku bisa bekerja. Sedikit meringankan beban
orang tua.
Ada sedikit keinginanku melanjutkan sekolah ke tingkat
yang lebih tinggi. Tapi aku sadar, sekolah di Jakarta memang tak murah. Di desa
dulu saja ayah sudah sering mengeluhkan tetek
bengek sekolahku. Apalagi disini, di ibukota. Selama hampir sebulan lamanya
aku membantu paman dan bibiku berjualan bakso di sebuah kios milikknya di
daerah Jakarta Selatan. Berarti dua bulan lagi teman-temanku yang beruntung
akan melanjutkan pendidikannya ke SMA. Sedangkan aku? Aku harus bekerja. Demi adik-adiiku.
Selang berapa hari kemudian, paman datang membawa
sebuah selebaran seperti pamflet. Isinya kurang lebih tentang pendaftaran siswa
baru sebuah sekolah boarding di daerah pinggiran Jakarta. Sekolah gratis, tanpa
membayar sepeserpun. Paman memaksaku untuk mengikuti tes seleksinya. Tapi apa
aku bisa? Aku hanyalah seorang anak udik yang tak tahu apa apa. Meskipun memang
aku selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasku dulu. Tapi apakah aku bisa
bersaing dengan calon siswa lain yang mungkin kebanyakan berasal dari kota. Dari
sekolah yang ternama. Dan tentunya dari keluarga yang berada. Apalagi seleksi
tesnya tak lebih dari seminggu lagi. Oh Tuhan, apa aku harus mengikutinya? Tapi
bagaimana dengan keluargaku disana?
Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti tes seleksi
itu. sengaja aku tak memberitahukan ini semua kepada orang tuaku. Antara takun
tak diizinkan, atau malah takut tak bisa lagi membantu meringankan beban mereka.
Bukan maksudku tak mau meminta doa dari mereka. Aku tahu mereka selalu
mendoakan yang terbaik untukku. Aku berangkat bersama paman dan bibiku, dua
orang yang sudah seperti orangtuaku. Mereka rela meninggalkan pekerjaannya
hanya untuk mengantarkanku, mengantarkan seorang keponakan yang mereka bilang
adalah calon orang besar. Dan akupun hanya bisa mengamininya dalam hati.
Aku ingat betul, di lokasi tes itu, dikelas yang sama,
dan di bangku tepat di depan meja tesku. Duduk seorang anak lelaki berperawakan
kecil dengan wajah yang lugu, polos. Dan dari tadi kuperhatikan, dia dengan
santai mengerjakan soal-soal tes itu. bahkan dia bisa mengerjakannya lebih
cepat dari semua anak yang berada di kelas itu. setelah itu dia menyandarkan
tubuhnya ke bangku. Tidur, mungkin sambil menunggu bel berbunyi karena memang
kami tak diizinkan meninggalkan ruangan sebelum itu. sepertinnya anak-anak lain
juga melakukan hal yang sama. Meninggalkan kertas soal dan pensilnya. Kemudian bersandar
ke bbangku yang memang sangat empuk, jauh berbeda dengan meja kayu sekolahku
dulu. Sedangkan aku? Aku masih berurusan
dengan angka-angka. Lembar soal yang dari tadi kubolak balik. Menghitung ulang
berkali-kali walaupun hasil yang didapat tetap saja sama. Aku hanya ingin
memastikan jawabanku sempurna. Hmm..anak di depanku itu yang kemudian kini
kusebut sebagai si biru.
Segala tes dan apalah itu telah aku lewati. Hanya tinggal
menunggu pengumuman dua minggu lagi. Aku telah berusaha sebisaku. Toh jika aku
tak lolos seleksinya, aku tak kecewa, karena tujuan utamaku di Jakarta
sebenarnya adalah mencari uang membantu keluarga di desa. Dua minggu setelahnya.
Paman kembali pulang dengan wajah berseri. Kembali membawa sebuah lembaran
kertas. Namun kali ini bukan lagi pendaftaran calon siswa baru seperti sebulan
lalu. Kini dia membawa kertas berisikan nama-nama siswa baru yang lolos seleksi
itu. dan ternyata namaku ada di urutan ke 53 dan nama si-biru ternyata juga ada
disana Antara senang dan sedih, kabar yang tak kusangka-sangka datangnya. Senang
karena aku bisa melanjutkan sekolahku. Dan sedih karena aku tak tahu bagaimana
harus berkata ke orangtuaku.
Dengan ponsel pamanku, ku telpon ayah dan ibu di desa.
Mengabari bahwa aku disini baik-baik saja. Dan sebelum aku mengatakan itu
semua, ayah dan ibuku lebih dulu memberikan selamat kepadaku. Ucapan selamat
karena aku telah lolos seleksi pendidikan itu. aku belum mengatakannya. Mereka tahu
darimana? Ternyata sebelum tes dimulai pun pamanku sudah menelepon kedua
orangtuaku di desa. Memintakan doa tulus mereka untukku. Dan sebelum memberikan
kabar kelulusan itu kepadaku, terlebih dulu paman mengabari orangtuaku. Ya
Tuhan, ternyata aku telah salah menilai keduaorang tuaku, mereka selalu
mendukungku. Mendukung semua pilihanku. Dan kini aku adalah seorang siswa SMA.
-oo-
Rintik hujan mulai
berhenti, tetes-tetes hujan sedikit demi sedikit meninggalkan bumi. Hanya suara
katak kini yang menemani. Tak terasa sudah dua jam aku membuka-buka kembali
coretan-coretan itu. dan tak kusangka telah banyak cerita ku tuliskan
diatasnya. Sungguh, aku tak menyesal pernah menuliskan itu semua.
Tapi kini setelah empat
tahun berlalu dari saat itu, aku merasa bahwa diri ini banyak berubah. Tak seperti
dulu. Hidup penuh senyum dan semangat. Kini seakan semangat itu hilang. Dan tak
tahu, dimana aku bisa mendapatkan kembali semangatku itu. memang kini aku telah
menjadi seorang mahasiswa, aku bisa menghidupi diriku sendiri. Tanpa harus
merepotkan orang tua. Bahkan aku masih sering menyisihkan sedikit uangku untuk
sekolah adik-adikku disana. Bukankah itu tujuan awalku? Harusnya aku puas
dengan semua itu, dan harusnya aku bahagia bisa mencapai tujuanku. Tapi memang
sepertinya ada yang hialng dari hidupku. Semangat itu, iya semangat itu.
“Biru, hari ini banyak sekali kejadian yang membuatku kembali mengingat
masa laluku. Mengingat kapan pertama kali aku tahu namamu. Dan tiba-tiba aku
bahagia bisa menjadi teman satu sekolahmu. Bodoh, aku saja tak pernah
berkenalan denganmu ketika tes itu. aku hanya tahu namamu dari daftar absensi
peserta tes. Tapi mengapa aku senang sekali melihat namamu juga ada diantara daftar
nama siswa baru itu? Akupun tak tahu biru. Aku hanya bahagia ketika mengingat
wajahmu yang polos dan teduh itu.”
Percuma, sekali lagi kupikir percuma dia tak akan tahu apa yang ku
tuliskan untukknya. Tapi sekali lagi aku puas menuliskan itu semua.
-oo-
Hari libur adalah
kesempatan langka. Jadwal kuliah yang padat selama seminggu, belum lagi urusan
organisasi yang tak bisa juga diabaikkan. Mungkin itu yang membuat dia tak
pernah membalas pesanku. Karena aku juga merasakannya. Menjadi seorang
mahasiswa tak segampang menjadi seorang siswa. Tapi aku tetap kagum padanya. Dia
bisa meluangkan waktunya, masih sering mempostingkan berbagai macam ilmu yang
didapatnya di media sosial ataupun di blog pribadinya.
Di SMA dulu aku bukanlah
seorang yang dekat dengan si-biru. Bahkan bisa dibilang aku tak pernah bicara
dengannya. Aku hanya dekat dengan orang-orang yang dekat dengannya. Mendengarkan
mereka berceloteh dengannya ketika jam istirahat. Dan mendengarkan
cerita-cerita tentangnya dari teman. Aku memang tak pernah memiliki keberanian
walaupun hanya sekedar menyapanya. Walaupun hanya ikut-ikutan ngobrol bersama
dia dan teman-temannya. Aku tak cukup berani soal itu. bodohnya lagi aku tiga
tahun sekelas dengannya. Harusnya kami menjadi teman akrab, ya harusnya. Tetapi
tidak pada kenyataannya. Aku akrab dengan teman teman kecilku lainnya kecuali
dia.
Selang waktu berjalan,
dia tumbuh menjadi seorang yang menawan. Tampang dan kepandaiannya seimbang. Dia
sering menjadi juara kelas. Tak sepertiku. Pantas banyak dari teman perempuanku
yang sering membicarakannya. Akupun hanya senyum-senyum kecil mendengarkannya. Bahkan,
sahabat kecilku juga mengatakan, bahwa dia menyukai si biru. Dan meminta
pendapatku. Ah, seperti tersambar petir saja rasanya. Semakin banyak yang
membicarakan si biru. Semua guru memujinya, semua siswa kagum padanya. Tak terkecuali
aku, aku sangat mengaguminya. Dan aku juga sering membicarakannya, dengan
bukuku tentunya. Pandai aku menyembunyikannya, bahkan sahabat kecilku pun tak
tahu, bahwa aku suka dia. Ah..biarlah ini tetap menjadi rahasia, pikirku dulu.
Kini semua berbeda, aku
menyesal menyiakan kesempatan tiga tahun itu. tiga tahun dengan adanya seorang
yang bisa memberiku semangat menjalani hidup. Dan tiga tahun kini telah
berlalu. Yang ada hanyalah kenangan-kenangan masa SMA dulu. Mungkin dialah
semangatku yang hilang itu. Meskipun kini kutahu dia sudah memiliki seorang
yang lebih baik dariku disana. Biarlah ini tetap menjadi rahasiaku, rahasiamu
biru.
“Kita semua pasti memiliki
seseorang yang tersembunyi jauh di dasar hati. Meski sering merasakan sakit,
kita pasti ingin selalu menjaganya. Meskipun kita tak tahu dimana dia sekarang,
apa yg sedang dia lakukan sekarang, tetapi dialah orang yg bisa membuat kita
mengerti ini semua”
-oo-
wah, awalnya takkira cerpen, ternyata bukan..
BalasHapuscurahan hati ya, mbak nov.. (sambil menerka siapakah si 'biru' itu?) hehe
itu emang cerpen tau ade...ga beneran kok serius. wkwkwk
BalasHapus