(DIBUAT UNTUK MEMENUHI
TUGAS AKHIR EKONOMI PERTANIAN PERSEDESAAN)
|
Oleh:
Novi Mubasyirotun Ni’mah
12/335859/EK/19061
|
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2014
|
A. Pendahuluan
Isu ketahanan
dan kedaulatan pangan secara umum tidak terlalu menjadi pembahasan utama yang
banyak dibicarakan dan diperjuangkan. Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang tidak pernah bisa ditunda, karena secara evolusi tubuh manusia
sangat bergantung pada asupan makaan. Penyediaan pangan untuk menjamin
kesehatan manusia merupakan kegiatan yang patut mendapat perhatian sangat
serius. Deklarasi dunia telah menyatakan bahwa pagan adalah hak asasi manusia
dan telah dicanangkan semenjak tahun 1948 yakni dalam deklarasi hak asasi
manusia tahun Article 11(1) yang berbunyi sebagai berikut:
“every one has the right to standart of
living adequate for the health and well being of himself and of his family,
include food...”
Namun sangat disayangkan sekali, negara
seperti Indonesia yang dilihat dari kondisi geografisnya saja merupakan negara
tropis yang diharapkan bisa menjadi lumbung dan mengatasi masalah pangan dunia
malah masih jauh dari kata “berdaulat” atas pangan.
Pemerintah
Indonesia lebih banyak melakukan ketahanan pangan daripada memperjuangkan
kedaulatan pangan. Lebih banyak impor bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan
dasar daripada mengembangkan sektor pertanian untuk mencapai kedaulatan pangan.
Jika bahan
makanan pokok dibuat murah, berarti para petani akan dikorbankan dan akan terus
hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, namun jika bahan makanan dijual
dengan harga mahal maka banyak penduduk Indonesia dari kalangan menengah
kebawah yang tak mampu memenuhi kebutuhan pangannya yang merupakan kebutuhan
pokok. Jika ini terjadi, maka negara bisa dikatakan gagal dalam mensejahterakan
rakyatnya.
B. Pembahasan
Secara
definitif makna “ketahanan” dan kedaulatan” itu berbeda. Secara sederhana
misalnya jika ada keluarga yang kehabisan beras lalu menutupinya dengan
membeli, maka hal itu sudah bisa dikatakan “ketahanan” pangan. Namun, keluarga
tersebut belum bisa dikatakan “berdaulat” karena kedaulatan pangan adalah upaya
yang lebih sistematis untuk menentukan kebijakan dan kebutuhan pangan secara
merdeka atas keluarganya sendiri, seperti menanam padi sendiri, menjual ataupun
membeli kepada keluarga sendiri dan membuat harga sendiri. Dalam konteks ini
Indonesia masih berada dalam konteks “ketahanan”
pangan, namun belum bisa dikatakan memiliki “kedaulatan” pangan.
Ironis memang Indonesia yang begitu
suburnya, dengan laut dan alamnya yang melimpah ruah masih saja terbelenggu
dalam berbagai masalah pangan. Bagaimna mungkin ekonomi kerakyatan dan
kedaulatan pangan dapat ditegakkan jika pasar dikendalikan oleh para konglomerat,
waki-wakil rakyat dengan seenaknya mengamandemen undang-undang sesuai pesanan
yang akhirnya rakyat kecillah yang menjad korban.
Bagaimana mungkin bahan baku utama dari
pembuatan tahu dan tempe, makanan yang paling membantu peningkatan gizi kaum menengah
kebawah harus diimpor dari negara lain, mematikan para petani kedelai Indonesia
yang notabene adalah rakyat kecil. Media yang dipesan konglomerat dengan
bantuan pejabat yang membuat “opini publik” bahwa pangan serba kekurangan
sehingga membuat kebijakan impor digulirkan.
Pada tahun 2012 DPR juga telah
mengesahkan undang-undang pangan yang baru, yakni UU Pangan No. 18 tahun 2012.
Pasal 2 dalam undang-undang ini menyatakan prisip atas asas penyelenggaraan
pangan di Indonesia harus berdasarkan kedaulatan kemandirian, kaetahanan,
keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Secara keseluruhan
undang-undang pangan ini memaparkan tujuan utama negara adalah untuk mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap sumber-sumber pangan dari luar.
Namun masih kenyataan masihlah sangat
jauh dari rancangan. Impor Indonesia terhadap barang-barang kebutuhan pokok
masih jauh lebih besar daripada pemenuhan secara mandiri oleh para petani dalam
negeri. Seandainya saja pemerintah lebih mengutamakan pemberian subsidi pada
produksi kebutuhan pokok dalam negeri dibandingkan dengan subsidi untuk
kebutuhan pokok impor, pasti rakyat akan jauh lebih sejahtera. Petani kecil
akan disubsidi untuk menghasilkan bahan makanan pokok yang berkualitas, dan
masyarakat pada umumnya tidak mengeluh lagi tentang harga kebutuhan pokok yang
mahal karena telah mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga kesejahteraan
benar-benar merata.
Dari sini terlihat bahwa pemerintah
masih lebih fokus melakukan ketahanan pangan daripada kedaulatan pangan.
Pemerintah masih lebih mengutamakan impor daripada pemenuhan kebutuhan dalam
negeri dengan produksi sendiri.
Di sisi lain, negara tidak selamanya
bisa mengimpor beras dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri. Harga beras dunia akan selalu naik seiring dengan jumlah penduduk dunia
yang semakin bertambah. Untuk mengimpor dibutuhkan dana yang sangat besar,
sedangkan petani dalam negeri juga membutuhkan suntikan dana untuk membantu
pemenuhan bahan makanan dalam negeri. Indonesia sesugguhnya secara geografis
adalah negara kepulauang dan wilayah daratan serta perairannya begitu luas,
namun sayangnya pemanfaatan lahan dan kepedulian pemerintah kurang maksimal.
Memang beras mudah disimpan dan
diperoleh dari pasaran internasional, tapi kita tetap harus waspada. Jika semua
negara melebih memilih melakkan ketahanan pangan dengan cara mengimpor dari
negara lain, maka suatu saat akan terjadi kekurangan persediaan pangn dunia,
atau yang lebih dikenal dengan krisis pangan.
Oleh karena itu ketahanan pangan tidak
harus dengan mengimpor dari negara lain, tetapi seharusnya lebih mengutamakan
kedaulatan pangan. Jika Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri
dan tidak lagi bergantung dengan bahan makanan impor dari negara lain, maka
Indonesia bisa disebut telah berdaulat atas pangan.
M.S Swaminathan mengatakan bahwa “the future belongs to nation with grains
and not guns”. Jadi masa depan negara itu sangat terantung dari kebutuhan
bahan makanan pokoknya. Ketahanan pangan yang diperoleh dari impor tidak akan
bisa bertahan lama, karena jika semua negara menggantungkan kehidupan rakyatya
dari persediaan dunia, lama kelamaan persediaan akan menipis dan habis. Jika hal
itu terjadi maka akan terjadi pula masalah pangan di seluruh dunia, antar
negara akan berebut bahan makanan dan kemungkinan terburuknya akan terjadi
perang karena manusia akan melakukan apapun untuk mempertahankan hidupnya.
Berbeda jika negara memproduksi sendiri bahan makanannya. Mengoptimalkan lahan
dan sumber daya yang ada. Memberikan perhatian khusus bagi sektor-sektor
pertanian.
Optimisasi potensi sumber daya
pertanian nasional sudah semestinya dapat mengurangi ketergantungan terhadap
produk-produk impor. Hal ini juga akan sangat mengutungkan karena akan
menghemat devisa. Jika pemerintah
benar-benar ingin melakukan kedaulatan pangan maka pemerintah perlu melakukan
berbagai kebijakan yang mampu memberikan insentif bagi para petani untuk meingkatkan
produktivitasnya. Investasi yang besar baik investasi sumber daya manusia
maupun sumber daya fisik di bidang pertanian sangat perlu menjadi prioritas.
Pembangunan infrastruktur pertanian
seperti saluran irigasi, pasar desa, jalan desa dan lain-lain menjai sangat
penting untuk menunjang produktivitas petani. Jika berbagai kebijakan dapat
berjalan dengan baik maka kedaulatan pangan nasional akan menjadi semakin
nyata.
Terkait
dengan potensi sumber daya pertanian, Subejo (2009) menilai bahwa dalam konteks
pembangunan pertanian, secara umum Indonesia memiliki potensi komoditas
perdagangan yang luar biasa. Sebagai contoh kelapa sawit, karet dan kakao
produksi Indonesia sudah mencapai pasaran dunia. Indonesia juga merupakan
produsen beras terbesar ketiga dunia setelah India dan China. Data Rice Almanac
(2002) menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia 8,5
persen atau 51 juta ton. Vietnam dan Thailand yang dikenal luas sebagai
eksportir beras dunia ternyata hanya berkontribusi 5,4 persen dan 3,9 persen.
Meskipun Indonesia termasiuk produsen
utama beras dunia, namun hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi
persoalan berulang dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Di sisi lain, Indonesiaa
juga merupakan pengonsumsi beras terbesar di dunia dengan mengutip data Rice
Research Institute (2009) yang mencatat bahwa penduduk Indonesia merupakan
pengkonsumsi beras terbesar dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Sementara
itu rerata konsmsi per kapita per tahun di China yang terkenal memiliki
penduduk yang lebih banyak hanyalah 90 kg per orang per tahun, India 74 kg,
Filipina 100 kg dan Thailand 100 kg. Hal inilah yang menyebaban impor pangan
Indonesia masih sangatlah besar dan menyebabkan Indonesia belum isa dikatakan
telah berdaulat atas pangan.
C. Kesimpulan
Indonesia yang
memilikiki kondisi geografis mendukung
untuk pengembangan sektor pertania ternyata masih belum mampu untuk
mengoptimalkan potensi wilayahnya. Meskipun Indonesia termasuk ke dalam negara
terbesar yang memberikan kontribusi terhadap ketersediaan beras dunia, namun
hal tersebut ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negei karena jumlah
konsumsi penduduk akan beras yang sangat tinggi.
Akhirnya
pemerintah lebih memilih impor daripada peningkatan produksi dalam negeri. Hal
inilah yang menyebabkan Indonesia belum mampu dikatakan berdaulat atas pangan,
baru sebatas melakukan ketahanan pangan.
Daftra Pustaka
Anonim. 2012. Konsepsi
SPI tentang Kedaulatan Pangan. Diunduh pada: www.spi.or.id/?page_id=282.
Diakses pada: 22 Juni 2014
Ita. 2012. Kedaulatan
dan Kebijakan Pangan, Poin Utama UU Pangan No. 18 Tahun 2012. Diunduh pada:
foodreview.co.id/preview.php?view2&id=566801.
Diakses pada: 22 Juni 2014
Subejo. 2009. Pembangunan
Pertanian Visioner menju Kejayaan Bngsa. Jakarta: Kompas.
Welirang,F. 2009. ‘Feed
The World’ – Why Not? Unity in Diversity dalam Ketahanan Pangan Indonesia. Jakarta:
Kompas.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTulisannya sudah cukup bagus, namun masih perlu disempurnakan. Indonesia boleh dikatakan berdaulat pangan selama bisa menentukan kebijakan dan kebutuhan pangannya secara merdeka (tanpa adanya intervensi). Justru hal yang perlu diperjuangkan ialah kemandirian pangan, dimana Indonesia seharusnya dapat memproduksi aneka macam bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sedangkan komoditas seperti gandum dan terigu bisa saja dilakukan impor asalkan tidak terintervensi oleh kepentingan asing.
BalasHapus