Belakangan ini sering saya menjumpai
tentang bisnis yang berlabel MLM. Nah sebenernya apakah itu MLM? Kebanyakan
orang menganggap bahwa bisnis Multi Level Marketing ini adalah bisnis yang
menguntungkan karena mereka cenderung ingin menghasilkan banyak uang secara
instan. Tapi tak sedikit pula yang mengatakan bahwa bisnis ini penuh dengan
ketidakpastian dan haram hukumnya. Diiringi dengan semakin berkembangnya dunia
bisni di Indonesia, semakin banyak pula muncul perusahaan-perusahaan yang
menjual produknya melalui sistem Multi Level Marketing (MLM).
Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah
Islam. Perlu dicatat, bahwa perusahaan money game yang berkedok MLM bukanlah
termasuk MLM. Kalau money game itu bisa dibilang semacam penggandaan uang.
Contohnya kasus QSAR dan Banyumas Mulia Abadi (BMA). Bisnis ini menjanjikan
uang bisa meningkat delapan kali lipat dalam waktu 15 bulan. Sedangkan bisnis
yang menggunaan sistem piramida itu pasti merugikan sebagian besar masyarakat
dan hanya menguntungkan segelintir orang yang lebih dahulu masuk. Kalau piramid
itu adalah suatu proses di mana seseorang dianjurkan untuk merekrut supaya
mendapat penghasilan besar dari rekrutnya. Bukan hasil dari penjualan
produk. Kadang-kadang, di MLM yang benar pun bisa dibuat piramid.
Misalnya, orang diajak bergabung awaldengan biaya investasi yang tinggi untuk
ambil posisi. maka sudah seharusnya kita berhati-hati.
Berikut ini adalah pembahasan mengenai
MLM:
1.
Sistem
Pemasaran MLM
Don Failla seorang pakar marketing ,
membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct
selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga multi level marketing
(pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan
memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran).
Kemunculan trend strategi pemasaran
produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak
pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM). Hal ini
disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga
menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang
ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja
Sistem marketing MLM yang lahir pada
tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat
konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen
dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam
bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan
hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.(Ahmad Basyuni Lubis,
Al-Iqtishad, November 2000).
2.
Prespekif Islam
Bisnis dalam syari’ah Islam pada
dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan
kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu
‘ala tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali
ada dalil/prinsip yang melarangnya.
Islam memahami bahwa perkembangan
budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di
atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan
berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan
perdagangan.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip
tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar
(bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm ( merugikan atau tidak adil
terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi
dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas
dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur. 1, Maysir (judi), 2, Aniaya
(zhulm), 3. Gharar (penipuan), 4 Haram,5 Riba (bunga), 6. Iktinaz atau Ihtikar
dan 7. Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis
MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang
atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak
haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’ah.
MLM yang menggunakan strategi
pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif,
asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan
syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi,
dakwah dan tarbiyah. Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode
semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada
awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok
tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada
suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.(Lihat, Azhari
Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan sistem
MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa,
yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan
berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level
seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara
produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah /
Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk
distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam
akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan,
insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih
Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara berdagang
yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika)
yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun
syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan
produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran
(iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
3.
Insentif dan penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi reward
atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang
mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya
dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif
dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh
mengatakan: "Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan
pada kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up Line yang
mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara
bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta
keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya
itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda
Rasulullah: “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi
pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi
sedikitpun”(hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk skim
ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi
penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina
sehingga ikut menyukseskan kinerja? Dalam hal menetapkan nilai insentif ini,
ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan
berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang
(Up line ) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (downline),
sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan
diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan
pembagian insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan, sebagaimana yang
terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional.
Dalam hal ini tetap dilakukan
musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya,
keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam
adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan
menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah, (asalkan
bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian
penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur,
untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan kufur nikmat,
apalagi melupakan Tuhan. MLM yang Islami senantiasa berpedoman pada akhlak
Islam.
Sebagaimana disebut di atas bahwa
penghargaan yang diberikan kepada anggota yang sukses mengembangkan jaringan,
dan secara sungguh-sunguh memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta
keteladanan prestasi (uswah), harus selaras dengan ajaran agama Islam. Karena
itu, applause ataupun gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang,
haruslah sesuai dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak. Ekspressi penghargaan
atas kesuksesan anggota MLM, tidak boleh melampaui batas (bertantangan dengan
ajaran Islam). Applause yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus
individu, mendewakan seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya
menjai takabbur, dan ‘ujub. Perayaan kesuksesan seharusnya dilakukan dalam
bingkai tasyakkur. (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis
Normatif MLM dalam Perspektif Muamalah, 2002).
Karena itu pula, Islam sangat mengecam
seseorang yang dalam menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangannya semakin
jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Firman Allah, “ Mereka tidak lalai dari
mengingat Allah dalam melakukan bisnis dan jual beli. Mereka mendirikan shalat
dan membayar zakat”… (QS.24:37)
Dari ayat tersebut dapat ditarik
pemahaman bahwa seluruh aktivitas bisnis tidak boleh melupakan Tuhan dan jauh
dari nilai-nilai keilahian, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, strategi
pemasaran, maupun pada saat menikmati kesuksesan (menerima penghargaan dan
applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis MLM
perlu diwaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul, sehingga
membahayakan kepribadian, seperti yang dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan,
yaitu adanya eksploitasi obsesi yang berlebihan untuk mencapai terget jaringan
dan penjualan. Karena terpacu oleh sistem ini, suasana yang tak kondusif kadang
mengarah pada pola hidup hura-hura ala jahiliyah, seperti ketika mengadakan
acara pertemuan para members.
4.
Kewajaran
harga produk
Setiap perdagangan pasti berorientasi
pada keuntungan. Namun Islam sangat menekankan kewajaran dalam memperoleh
keuntungan tersebut. Artinya, harga produk harus wajar dan tidak dimark up
sedemikian rupa dalam jumlah yang amat mahal, sebagaimana yang banyak terjadi
di perusahaan bisnis MLM saat ini. Sekalipun Al-quran tidak menentukan secara
fixed besaran nominal keuntungan yang wajar dalam perdagangan, namun dengan
tegas Al-quran berpesan, agar pengambilan keuntungan dilakukan secara fair,
saling ridha dan menguntungkan. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha
Penyayang kepadamu" (QS.4:29).
Dalam konteks ini, tidak sedikit
masyarakat yang berpendapat bahwa produk yang ditawarkan perusahaan MLM sangat
mahal dan terlalu eksklusif, sehingga kerap kali memberatkan anggota yang
berada di level bawah (down line) serta masyarakat pemakai dan sangat
menguntungkan level di atasnya (up line). Seringkali harga produk dimark up
sampai dua bahkan tiga kali lipat dari harga yang sepatutnya. Hal ini
seharusnya dihindari, karena cara ini adalah mengambil keuntungan dengan cara
yang bathil, karena mengandung unsur kezaliman, yakni memberatkan masyarakat
konsumen.Penetapan harga yang terlalu tinggi dari harga normal, sehingga
memberatkan konsumen, dapat dianalogikan dengan ghabn, yaitu menjual satu
barang dengan harga tinggi dari harga pasar.
5.
12
syarat MLM Syari'ah
a. Produk yang dipasarkan harus halal,
thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih
meragukan)
b. Sistem akadnya harus memenuhi kaedah
dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih
muamalah)
c. Operasional, kebijakan, corporate
culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah
d. Tidak ada excessive mark up harga
barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota
terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan
manfaat yang diperoleh.
e. Struktur manajemennya memiliki Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah
ekonomi.
f. Formula intensif harus adil, tidak
menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income
tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down
linenya.
g. Pembagian bonus harus mencerminkan
usaha masing-masing anggota.
h. Tidak ada eksploitasi dalam aturan
pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir
i.
Bonus
yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
j.
Tidak
menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan
pemenuhan kebutuhan primer.
k. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi
tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak
syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
l.
Perusahaan
MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.
6.
Misi
Syari’ah
a. Usaha bisnis MLM, (khususnya yang
dikelola oleh kaum muslimin), seharusnya memiliki misi mulia dibalik kegiatan
bisnisnya. Di antara misi mulia itu adalah : Mengangkat derjat ekonomi ummat
melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
b. Meningkatkan jalinan ukhuwah ummat
Islam di seluruh dunia
c. Membentuk jaringan ekonomi ummat yang
berskala internasional, baik jaringan produksi, distribusi maupun konsumennya
sehingga dapat mendorong kemandirian dan kejayaan ekonomi ummat.
d. Memperkokoh ketahanan akidah dari
serbuan idiologi, budaya dan produk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islami.
e. Mengantisipasi dan mempersiapkan
strategi dan daya saing menghadapi era globalisasi dan teknologi informasi.
f. Meningkatkan ketenangan konsumen
dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.