إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Jumat, 15 Februari 2013

Biru


“Hai biru, apa kabarmu disana? Masihkah kau mengingatku? Seorang teman kecilmu yang dulu sangat pemalu. Hai biru, apa kau tau kini aku telah berubah. Aku bukanlah aku yang kau kenal dulu. Tapi apa gunanya aku bercerita kepadamu? Toh kau disana juga tak pernah bercerita kepadaku, bahkan hanya sedikit meluangkan waktumu memberiku kabar. Sudahlah biru, aku tau kau sedang berjuang disana. Mungkin juga kau tak sempat membaca pesan apa kabar dariku. Atau mungkin juga kau lupa membalasnya karena kesibukanmu. Biru, aku disini akan selalu mendoakanmu. Tak salah kan aku mendoakan teman kecilku? Semoga kau sukses disana dengan hidup barumu”
Ku tutup buku biruku. Tempat dimana aku berbagi cerita dengan si biru, meskipun ku tau dia tak akan pernah membaca coretan-coretan itu. Bergegas ku menuju kasur, berharap esok si biru akan membalas pesanku. Meskipun kutahu itu hanyalah harapan semu.
-oo-
           
            Hari ini mungkin seperti hari-hari sebelumnya, aktifitas pagi yang kulakukan sebelum berangkat kuliah. Oh iya, aku bukan anak SMA lagi. Aku kini adalah seorang mahasiswa. Ya, mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Berarti sudah setahun lalu kutanggalkan seragam putih abu-abuku. Masa dimana semua berjalan begitu indah tanpa banyak beban dan hantaman pergaulan yang se ekstrim duniaku sekarang. Ah..masa itu. Sungguh jika aku dapat memutar waktu, aku lebih memilih kembali ke duniaku yang dulu.
            Di kampus ini, aku memiliki seorang teman yang bisa kubilang dia adalah sahabat terbaikku. Vega. Entah kenapa kami berdua  seperti sudah ditakdirkan untuk bertemu disini. Di lingkungan baru yang semuanya serba tak pernah kukenal sebelumnya. Tapi dia berbeda, dia seperti teman masa kecilku lainya. Sejalan sepikiran. Dan dia juga yang selalu mengingatkanku kepada teman-teman masa kecilku yang gila, rusuh dan tak pernah menganggap suatu beban sebagai suatu yang memberatkan. Dia yang selalu menguatkan dan dia juga yang selalu membantuku bangkit ketika ku terjatuh. Dan dia juga orang yang selalu dengan sabar mendengarkan ceritaku tentang si biru. Yah meskipun mungkin dia bosan dengan cerita cerita itu, cerita yang bahkan aku sendiri hanya menggantungkannya di angan.
            Malam ini ku tulis lagi surat kecil untuk si biru. Sudah setahun, dan sudah ratusan lembar kertas tergoreskan tinta. Dan buku ini hampir penuh dengan cerita untuk si biru. Meski ku tahu, dia tak akan pernah membacanya. Mungkin orang lain bilang ini hanya sia-sia. Tapi dengan menuliskan semuanya, aku bisa merasakan bahwa aku benar-benar bercerita kepada si biru. Ah biru, andai kau benar-benar ada disini.
-oo-

            Setahun sudah sejak hari pelepasan itu, aku tak pernah sekalipun mendengar kabar dari si biru. Tak ada satupun temanku yang tahu dimana dia berada sekarang. Aku hanya tahu, dia kini menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di ibukota. Itupun aku tahu dari akun facebooknya. Nah dari situ juga aku bisa tahu apa yang sedang dia kerjakan, dari postingan dia. Seakan postingan itu mengabarkan kepadaku bahwa dia sekarang baik-baik saja, bahkan bisa dibilang menjadi aktivis di kampusnya.  
            Aku sering melihat chat facebooknya online. Pernah juga aku menyapanya lewat chat. Tapi tetap sama, tak ada balasan. Aku hanya berpositive thinking, mungkin dia sedang sibuk mengerjakan tugas. Semenjak itu aku tak pernah lagi menyapanya, mungkin ada sedikit rasa kecewa dan aku takut kekecewaan itu kembali datang. Aku hanya bisa menyaksikannya, lewat apa-apa yang dia katakana di media sosial itu. Semua yang dia tulis, menggambarkan bahwa dia bahagia disana. Ya, bahagia dengan dunia barunya. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati, melihat dia bahagia. Meskipun dia tak pernah lagi berbagi kebahagiaan itu denganku, tak seperti dulu.
            Kubuka kembali notebook kecilku. Tua dan usang. Kuingat betul itu adalah buku pertamaku menuliskan apa yang terjadi dalam hidupku. Ada juga beberapa tulisan sahabat kecilku disana. Kata kata ini yang memberiku kekuatan untuk terus menulis.
“ You don’t need to pretend, all feelings inside. You don’t have to conceal, just tell what you feel (25 februari)”
Benar, mungkin aku tak harus menjadi seorang sastrawan untuk bercerita. Aku hanya butuh kertas dan pena. Aku hanya butuh menjadi diriku sendiri. Tak harus menyembunyikan  semuanya. Karena masih banyak tempat berbagi, yah walaupun hanya kepada sebuah buku.
            Sore ini, hujan turun lagi. Udara dinginpun tak malu menyapa. Sendiri. Iya sendiri diantara ribuan bahkan miliaran butir air yang turun kebumi. Kubuka catatan lamaku. Membawaku kembali menyelami memori hidup empat tahun lalu.
-oo-
Aku hanya seorang gadis desa. Umurku baru 15 tahun ketika paman dan bibiku membawaku ke ibukota. Bukan apa apa. Beliau hanya kasihan melihat keluargaku yang bukan orang berada harus membesarkan lima orang anak yang semuanya butuh makan dan tentunya pendidikan. Sebagai seorang anak sulung, aku berkeinginan keras membantu ayahku menghidupi adik adikku. Oleh karena itu, setelah aku lulus SMP, aku menerima tawaran pamanku untuk tinggal bersama dia di ibukota. Pikirku, mungkin disana aku bisa bekerja. Sedikit meringankan beban orang tua.     
Ada sedikit keinginanku melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi aku sadar, sekolah di Jakarta memang tak murah. Di desa dulu saja ayah sudah sering mengeluhkan tetek bengek sekolahku. Apalagi disini, di ibukota. Selama hampir sebulan lamanya aku membantu paman dan bibiku berjualan bakso di sebuah kios milikknya di daerah Jakarta Selatan. Berarti dua bulan lagi teman-temanku yang beruntung akan melanjutkan pendidikannya ke SMA. Sedangkan aku? Aku harus bekerja. Demi adik-adiiku.
Selang berapa hari kemudian, paman datang membawa sebuah selebaran seperti pamflet. Isinya kurang lebih tentang pendaftaran siswa baru sebuah sekolah boarding di daerah pinggiran Jakarta. Sekolah gratis, tanpa membayar sepeserpun. Paman memaksaku untuk mengikuti tes seleksinya. Tapi apa aku bisa? Aku hanyalah seorang anak udik yang tak tahu apa apa. Meskipun memang aku selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasku dulu. Tapi apakah aku bisa bersaing dengan calon siswa lain yang mungkin kebanyakan berasal dari kota. Dari sekolah yang ternama. Dan tentunya dari keluarga yang berada. Apalagi seleksi tesnya tak lebih dari seminggu lagi. Oh Tuhan, apa aku harus mengikutinya? Tapi bagaimana dengan keluargaku disana?
Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti tes seleksi itu. sengaja aku tak memberitahukan ini semua kepada orang tuaku. Antara takun tak diizinkan, atau malah takut tak bisa lagi membantu meringankan beban mereka. Bukan maksudku tak mau meminta doa dari mereka. Aku tahu mereka selalu mendoakan yang terbaik untukku. Aku berangkat bersama paman dan bibiku, dua orang yang sudah seperti orangtuaku. Mereka rela meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengantarkanku, mengantarkan seorang keponakan yang mereka bilang adalah calon orang besar. Dan akupun hanya bisa mengamininya dalam hati.
Aku ingat betul, di lokasi tes itu, dikelas yang sama, dan di bangku tepat di depan meja tesku. Duduk seorang anak lelaki berperawakan kecil dengan wajah yang lugu, polos. Dan dari tadi kuperhatikan, dia dengan santai mengerjakan soal-soal tes itu. bahkan dia bisa mengerjakannya lebih cepat dari semua anak yang berada di kelas itu. setelah itu dia menyandarkan tubuhnya ke bangku. Tidur, mungkin sambil menunggu bel berbunyi karena memang kami tak diizinkan meninggalkan ruangan sebelum itu. sepertinnya anak-anak lain juga melakukan hal yang sama. Meninggalkan kertas soal dan pensilnya. Kemudian bersandar ke bbangku yang memang sangat empuk, jauh berbeda dengan meja kayu sekolahku dulu.  Sedangkan aku? Aku masih berurusan dengan angka-angka. Lembar soal yang dari tadi kubolak balik. Menghitung ulang berkali-kali walaupun hasil yang didapat tetap saja sama. Aku hanya ingin memastikan jawabanku sempurna. Hmm..anak di depanku itu yang kemudian kini kusebut sebagai si biru.
Segala tes dan apalah itu telah aku lewati. Hanya tinggal menunggu pengumuman dua minggu lagi. Aku telah berusaha sebisaku. Toh jika aku tak lolos seleksinya, aku tak kecewa, karena tujuan utamaku di Jakarta sebenarnya adalah mencari uang membantu keluarga di desa. Dua minggu setelahnya. Paman kembali pulang dengan wajah berseri. Kembali membawa sebuah lembaran kertas. Namun kali ini bukan lagi pendaftaran calon siswa baru seperti sebulan lalu. Kini dia membawa kertas berisikan nama-nama siswa baru yang lolos seleksi itu. dan ternyata namaku ada di urutan ke 53 dan nama si-biru ternyata juga ada disana Antara senang dan sedih, kabar yang tak kusangka-sangka datangnya. Senang karena aku bisa melanjutkan sekolahku. Dan sedih karena aku tak tahu bagaimana harus berkata ke orangtuaku.
Dengan ponsel pamanku, ku telpon ayah dan ibu di desa. Mengabari bahwa aku disini baik-baik saja. Dan sebelum aku mengatakan itu semua, ayah dan ibuku lebih dulu memberikan selamat kepadaku. Ucapan selamat karena aku telah lolos seleksi pendidikan itu. aku belum mengatakannya. Mereka tahu darimana? Ternyata sebelum tes dimulai pun pamanku sudah menelepon kedua orangtuaku di desa. Memintakan doa tulus mereka untukku. Dan sebelum memberikan kabar kelulusan itu kepadaku, terlebih dulu paman mengabari orangtuaku. Ya Tuhan, ternyata aku telah salah menilai keduaorang tuaku, mereka selalu mendukungku. Mendukung semua pilihanku. Dan kini aku adalah seorang siswa SMA.
-oo-

            Rintik hujan mulai berhenti, tetes-tetes hujan sedikit demi sedikit meninggalkan bumi. Hanya suara katak kini yang menemani. Tak terasa sudah dua jam aku membuka-buka kembali coretan-coretan itu. dan tak kusangka telah banyak cerita ku tuliskan diatasnya. Sungguh, aku tak menyesal pernah menuliskan itu semua.
            Tapi kini setelah empat tahun berlalu dari saat itu, aku merasa bahwa diri ini banyak berubah. Tak seperti dulu. Hidup penuh senyum dan semangat. Kini seakan semangat itu hilang. Dan tak tahu, dimana aku bisa mendapatkan kembali semangatku itu. memang kini aku telah menjadi seorang mahasiswa, aku bisa menghidupi diriku sendiri. Tanpa harus merepotkan orang tua. Bahkan aku masih sering menyisihkan sedikit uangku untuk sekolah adik-adikku disana. Bukankah itu tujuan awalku? Harusnya aku puas dengan semua itu, dan harusnya aku bahagia bisa mencapai tujuanku. Tapi memang sepertinya ada yang hialng dari hidupku. Semangat itu, iya semangat itu.
   “Biru, hari ini banyak sekali kejadian yang membuatku kembali mengingat masa laluku. Mengingat kapan pertama kali aku tahu namamu. Dan tiba-tiba aku bahagia bisa menjadi teman satu sekolahmu. Bodoh, aku saja tak pernah berkenalan denganmu ketika tes itu. aku hanya tahu namamu dari daftar absensi peserta tes. Tapi mengapa aku senang sekali melihat namamu juga ada diantara daftar nama siswa baru itu? Akupun tak tahu biru. Aku hanya bahagia ketika mengingat wajahmu yang polos dan teduh itu.”
Percuma, sekali lagi kupikir percuma dia tak akan tahu apa yang ku tuliskan untukknya. Tapi sekali lagi aku puas menuliskan itu semua.
-oo-

            Hari libur adalah kesempatan langka. Jadwal kuliah yang padat selama seminggu, belum lagi urusan organisasi yang tak bisa juga diabaikkan. Mungkin itu yang membuat dia tak pernah membalas pesanku. Karena aku juga merasakannya. Menjadi seorang mahasiswa tak segampang menjadi seorang siswa. Tapi aku tetap kagum padanya. Dia bisa meluangkan waktunya, masih sering mempostingkan berbagai macam ilmu yang didapatnya di media sosial ataupun di blog pribadinya.
            Di SMA dulu aku bukanlah seorang yang dekat dengan si-biru. Bahkan bisa dibilang aku tak pernah bicara dengannya. Aku hanya dekat dengan orang-orang yang dekat dengannya. Mendengarkan mereka berceloteh dengannya ketika jam istirahat. Dan mendengarkan cerita-cerita tentangnya dari teman. Aku memang tak pernah memiliki keberanian walaupun hanya sekedar menyapanya. Walaupun hanya ikut-ikutan ngobrol bersama dia dan teman-temannya. Aku tak cukup berani soal itu. bodohnya lagi aku tiga tahun sekelas dengannya. Harusnya kami menjadi teman akrab, ya harusnya. Tetapi tidak pada kenyataannya. Aku akrab dengan teman teman kecilku lainnya kecuali dia.
            Selang waktu berjalan, dia tumbuh menjadi seorang yang menawan. Tampang dan kepandaiannya seimbang. Dia sering menjadi juara kelas. Tak sepertiku. Pantas banyak dari teman perempuanku yang sering membicarakannya. Akupun hanya senyum-senyum kecil mendengarkannya. Bahkan, sahabat kecilku juga mengatakan, bahwa dia menyukai si biru. Dan meminta pendapatku. Ah, seperti tersambar petir saja rasanya. Semakin banyak yang membicarakan si biru. Semua guru memujinya, semua siswa kagum padanya. Tak terkecuali aku, aku sangat mengaguminya. Dan aku juga sering membicarakannya, dengan bukuku tentunya. Pandai aku menyembunyikannya, bahkan sahabat kecilku pun tak tahu, bahwa aku suka dia. Ah..biarlah ini tetap menjadi rahasia, pikirku dulu.
            Kini semua berbeda, aku menyesal menyiakan kesempatan tiga tahun itu. tiga tahun dengan adanya seorang yang bisa memberiku semangat menjalani hidup. Dan tiga tahun kini telah berlalu. Yang ada hanyalah kenangan-kenangan masa SMA dulu. Mungkin dialah semangatku yang hilang itu. Meskipun kini kutahu dia sudah memiliki seorang yang lebih baik dariku disana. Biarlah ini tetap menjadi rahasiaku, rahasiamu biru.
“Kita semua pasti memiliki seseorang yang tersembunyi jauh di dasar hati. Meski sering merasakan sakit, kita pasti ingin selalu menjaganya. Meskipun kita tak tahu dimana dia sekarang, apa yg sedang dia lakukan sekarang, tetapi dialah orang yg bisa membuat kita mengerti ini semua”

-oo-


   







   
           

2 komentar:

  1. wah, awalnya takkira cerpen, ternyata bukan..

    curahan hati ya, mbak nov.. (sambil menerka siapakah si 'biru' itu?) hehe

    BalasHapus
  2. itu emang cerpen tau ade...ga beneran kok serius. wkwkwk

    BalasHapus